Analisis
Kritis Perubahan Kurikulum Pendidikan di Indonesia
Oleh
Agus Suhartono Putra
Diunduh dari
http://www.kompasberita.com/2012/01/analisis-kritis-perubahan-kurikulum-pendidikan-di-indonesia/ pada tanggal 23 Mei 2012
BAB
I
PENDAHULUAN
Kurikulum merupakan alat yang sangat
penting bagi keberhasilan suatu pendidikan. Tanpa kurikulum yang sesuai dan
tepat akan sulit untuk mencapai tujuan dan sasaran pendidikan yang diinginkan.
Dalam sejarah pendidikan di Indonesia sudah beberapa kali diadakan perubahan
dan perbaikan kurikulum yang tujuannya sudah tentu untuk menyesuaikannya dengan
perkembangan dan kemajuan zaman, guna mencapai hasil yang maksimal.
Perubahan kurikulum didasari pada
kesadaran bahwa perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di Indonesia tidak terlepas dari
pengaruh perubahan global, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta
seni dan budaya. Perubahan secara terus menerus ini menuntut perlunya perbaikan
sistem pendidikan nasional, termasuk penyempurnaan kurikulum untuk mewujudkan
masyarakat yang mampu bersaing dan menyesuaikan diri dengan perubahan.
Perubahan kurikulum yang terjadi di
Indonesia dewasa ini salah satu diantaranya adalah karena ilmu pengetahuan itu
sendiri selalu dinamis. Selain itu, perubahan tersebut juga dinilainya
dipengaruhi oleh kebutuhan manusia yang selalu berubah juga pengaruh dari luar,
dimana secara menyeluruh kurikulum itu tidak berdiri sendiri, tetapi
dipengaruhi oleh prubahan iklim ekonomi, politik, dan kebudayaan. Sehingga
dengan adanya perubahan kurikulum itu, pada gilirannya berdampak pada kemajuan
bangsa dan negara. Kurikulum pendidikan harus berubah tapi diiringi juga dengan
perubahan dari seluruh masyarakat pendidikan di Indonesia yang harus mengikuti
perubahan tersebut, karena kurikulum itu bersifat dinamis bukan stasis, kalau
kurikulum bersifat statis maka itulah yang merupakan kurikulum yang tidak baik.
Berdasarkan latar belakang diatas,
maka penulis akan membahas permasalahan yang dihadapi dalam mencari alternatif
jawaban ataupun solusi bijak yang bisa dipecahkan bersama sehingga dapat
terwujud pemahaman mengenai perubahan kurikulum. Untuk menganalisa masalah
diatas penulis mengkemasnya dengan judul Analisis Kritis Perubahan Kurikulum
Pendidikan di Indonesia.
BAB
II
PENDAHULUAN
- A. Esensi Perubahan Kurikulum
Dalam perspektif soetopo dan soemanto
pengertian perubahan kurikulum agak sukar untuk dirumuskan dalam suatu
devinisi. Suatu kurikulum disebut mengalami perubahan bila terdapat adanya
perbedaan dalam satu atau lebih komponen kurikulum antara dua periode tertentu,
yang disebabkan oleh adanya usaha yang disengaja, tentunya menuju movement
yang lebih baik.
Berbeda dengan ungkapan nasution,
perubahan kurikulum mengenai tujuan maupun alat-alat atau cara-cara untuk
mencapai tujuan itu. Mengubah kurikulum sering berarti turut mengubah manusia,
yaitu guru, pembina pendidikan, dan mereka-mereka yang mengasuh pendidikan. Itu
sebab perubahan kurikulum dianggap sebagai perubahan sosial, suatu social
change. Perubahan kurikulum juga disebut devolupment (pembaharuan)
atau inovasi kurikulum.
Mengenai makna perubahan kurikulum,
bila kita bicara tentang perubahan kurikulum, kita dapat bertanya dalam arti
apa kurikulum digunakan. Kurikulum dapat dipandang sebagai buku atau dokumen
yang dijadikan guru sebagai pegangan dalam proses pembelajaran. Kurikulum dapat
juga dilihat sebagai produk yaitu apa yang diharapkan dapat dicapai siswa dan
sebagai proses untuk mencapainya. Keduanya saling berinteaksi. Kurikulum dapat
juga diartikan sebagai sesuatu yang hidup dan berlaku selama jangka waktu
tertentu dan perlu di revisi secara berkala agar tetap relevan dengan
perkembangan zaman.
Selanjutnya kurikulum dapat
ditafsirkan sebagai apa yang dalam kenyataan terjadi dengan murid didalam
kelas. Kurikulum dalam arti ini tak mungkin direncanakan sepenuhnya betapapun
rincinya dirrencanakan, karena dalam interaksi dalam kelas selalu timbul
hal-hal yang spontan dan kreatif yang tak dapat diramalkan sebelumnya. Dalam
hal ini guru lebih besar kesempatannya menjadi pengembang kurikulum dalam
kelasnya. Akhirnya kurikulum dapat dipandang sebagai cetusan jiwa pendidik yang
berusaha untuk mewujudkan cita-cita, nilai-nilai yang tertinggi dalam kelakuan
anak didiknya. Kurikulum ini sangat erat hubungannya dengan kepribadian guru.
Kurikulum yang formal mengubah
pedoman kurikulum, relatif lebih terbatas dari pada kurikulum yang riil.
Kurikulum yang riil bukan sekedar buku pedoman, melainkan segala sesuatu yang
dialami anak dalam kelas, ruang olahraga, warung sekolah, tempat bermain, karya
wisata, dan banyak kegiatan lainnya, pendek kata mengenai seluruh kehidupan
anak sepanjang bersekolah. Mengubah kurikulum dalam arti yang luas ini jauh
lebih luas dan dengan demikian lebih pelik, sebab menyangkut banyak variabel.
Perubahan kurikulum disini berarti mengubah semua yang terlibat didalamnya, yaitu
guru sendiri, murid, kepala sekolah, penilik sekolah juga orang tua dan
masyarakat umumnya yang berkepentingan dalam pendidikan sekolah. Seperti yang
telah penulis paprkn di atas, bahwa perubahan kurikulum adalah perubahan
sosial, curriculum change is social change.
- Jenis-Jenis Perubahan
Menurut Soetopo dan Soemanto,
Perubahan kurikulum dapat bersifat sebagian-sebagian, tapi dapat pula bersifat
menyeluruh.
- Perubahan sebagian-sebagian
Perubahan yang terjadi hanya pada
komponen (unsur) tentu saja dari kurikulum kita sebut perubahan yang
sebagian-sebagian. Perubahan dalam metode mengajar saja, perubahan dalam itu
saja, atau perubahan dalam sistem penilaian saja, adalah merupakan contoh dari
perubahan sebagian-sebagian.
Dalam perubahan sebagian-sebagian ini,
dapat terjadi bahwa perubahan yang berlangsung pada komponen tertentu sama
sekali tidak berpengaruh terhadap komponen yang lain. Sebagai contoh,
penambahan satu atau lebih bidang studi kedalam suatu kurikulum dapat saja
terjadi tanpa membawa perubahan dalam cara (metode) mengajar atau sistem
penilaian dalam kurikulum tersebut.
- Perubahan menyeluruh
Disamping secara sebagian-sebagian,
perubahan suatu kurikulum dapat saja terjadi secara menyeluruh . Artinya
keseluruhan sistem dari kurikulum tersebut mengalami perubahan mana tergambar
baik didalam tujuannya, isinya organisasi dan strategi dan pelaksanaannya.
Perubahan dari kurikulum 1968
menjadi kurikulum 1975 dan 1976 lebih merupakan perubahan kurikulum secara
menyeluruh. Demikian pula kegiatan pengembangan kurikulum sekolah pembangunan
mencerminkan pula usaha perubahan kurikulum yang bersifat menyeluruh. Kurikulum
1975 dan 1976 misalnya, pengembangan , tujuan, isi, organisasi dan strategi
pelaksanaan yang baru dan dalam banyak hal berbeda dari kurikulum sebelumnya.
- Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perubahan kurikulum
Menurut Soetopo dan Soemanto, ada
sejumlah faktor yang dipandang mendorong terjadinya perubahan kurikulum pada
berbagai Negara dewasa ini.
Pertama, bebasnya sejumlah wilayah tertentu di dunia ini dari
kekuasaan kaum kolonialis. Dengan merdekanya Negara-negara tersebut, mereka
menyadari bahwa selama ini mereka telah dibina dalam suatu sistem pendidikan
yang sudah tidak sesuai lagi dengan cita-cita nasional merdeka. Untuk itu ,
mereka mulai merencanakan adanya perubahan yang cukup penting di dalam
kurikulum dan sistem pendidikan yang ada.
Kedua, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat
sekali. Di satu pihak, perkembangan dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan yang
diajarkan di sekolah menghasilkan diketemukannya teori-teori yang lama. Di lain
pihak, perkembangan di dalam ilmu pengetahuan psikologi, komunikasi, dan
lain-lainnya menimbulkan diketemukannya teori dan cara-cara baru di dalam
proses belajar mengajar. Kedua perkembangan di atas, dengan sendirinya
mendorong timbulnya perubahan dalam isi maupun strategi pelaksanaan kurikulum.
Ketiga, pertumbuhan yang pesat dari penduduk dunia. Dengan
bertambahnya penduduk, maka makin bertambah pula jumlah orang yang membutuhkan
pendidikan. Hal ini menyebabkan bahwa cara atau pendekatan yang telah digunakan
selama ini dalam pendidikan perlu ditinjau kembali dan kalau perlu diubah agar
dapat memenuhi kebutuhan akan pendidikan yang semakin besar. Ketiga faktor di
atas itulah yang secara umum banyak mempengaruhi timbulnya perubahan kurikulum
yang kita alami dewasa ini.
- Sebab-Sebab Kurikulum Itu Diubah
Kurikulum itu selalu dinamis dan
senantiasa dipengaruhi oleh perubahan-perubahan dalam faktor-faktor yang
mendasarinya. Tujuan pendidikan dapat berubah secara fundamental, bila suatu
negara beralih dari negara yang dijajah menjadi Negara yang merdeka. Dengan
sendirinya kurikulum pun harus mengalami perubahan yang menyeluruh.
Kurikulum juga diubah bila tekanan
dalam tujuan mengalami pergeseran. Misalnya pada tahun 30-an sebagai pengaruh
golongan progresif di USA tekanan kurikulum adalah pada anak, sehingga
kurikulum mengarah kepada child-centered curriculum sebagai reaksi
terhadap subject-centered curriculum yang dianggap terlalu bersifat
adulatif (pembujukan) dan society-centered.. Pada tahun 40-an, sebagai
akibat perang, asas masyarakatlah yang diutamakan dan kurikulum menjadi lebih society-centered.
Kurikulum dapat pula mengalami
perubahan bila terdapat pendirian baru mengenai proses belajar, sehingga timbul
bentuk-bentuk kurikulum seperti activity atau experience curriculum,
programmed instruction, pengajaran modul, dan sebagainya.
Perubahan dalam masyarakat, eksplosi
(ledakan) ilmu pengetahuan dan lain-lain mengharuskan adanya perubahan
kurikulum. Perubahan-perubahan itu menyebabkan kurikulum yang berlaku tidak
lagi relevan, dan ancaman serupa ini akan senantiasa dihadapi oleh setiap
kurikulum, betapapun relevannya pada suatu saat.
- Kesulitan-Kesulitan Dalam Perubahan Kurikulum
Sejarah menunjukkan bahwa sekolah
itu sangat sukar menerima pembaharuan. Ide yang baru tentang pendidikan
memerlukan waktu sekitar 75 tahun sebelum dipraktikan secara umum di
sekolah-sekolah.
Manusia itu pada umumnya bersifat
konservatif (tertutup) dan guru termasuk golongan itu juga. Guru-guru lebih
senang mengikuti jejak-jejak yang lama secara rutin. Ada kalanya karena cara
yang demikianlah yang paling mudah dilakukan. Mengadakan pembaharuan memerlukan
pemikiran dan tenaga yang lebih banyak. Tak semua orang suka bekerja lebih
banyak daripada yang diperlukan. Akan tetapi ada pula kalanya, bahwa guru-guru
tidak mendapat kesempatan atau wewenang untuk mengadakan perubahan karena
peraturan-peraturan administratif. Guru itu hanya diharapkan mengikuti
instruksi atasan.
Pembaharuan kurikulum kadang-kadang
terikat pada tokoh yang mencetuskannya. Dengan meninggalnya tokoh itu lenyap
pula pembaharuan yang telah dimulainya itu. Dalam pembaharuan kurikulum
ternyata bahwa mencetuskan ide-ide baru lebih “mudah” daripada menerapkannya
dalam praktik. Dan sekalipun telah dilaksanakan sebagai percobaan, masih banyak
mengalami rintangan dalam penyebarluasannya, oleh sebab harus melibatkan banyak
orang dan mungkin memerlukan perubahan struktur organisasi dan administrasi
sistem pendidikan.
Disadari atau tidak pembaharuan
kurikulum pastinya memerlukan biaya yang lebih banyak untuk fasilitas dan
alat-alat pendidikan baru, yang tidak selalu dapat dipenuhi. Tak jarang pula
pembaharuan ditentang oleh mereka yang ingin berpegang pada yang sudah lazim dilakukan
atau yang kurang percaya akan yang baru sebelum terbukti kelebihannya. Bersifat
kritis terhadap pembaharuan kurikulum adalah sifat yang sehat, karena
pembaharuan itu jangan hanya sekedar mode yang timbul pada suatu saat untuk
lenyap lagi dalam waktu yang tidak lama.
- B. Ironi Kurikulum Pendidikan
di Indonesia
Polemik yang telah pamakalah
paparkan di atas mengenai perubahan kurikulum yang ada di Indonesia, dari
mulai pergantiannya hingga pelaksanaan kurikulum yang baru. Penulis dapat
menarik satu benang merah bahwa kurikulum dalam pengertian termenologi yang
berasal dari bahasa Yunani “Curriculum” dan “Curere” dalam bahasa
latin adalah seperangkat mata pelajaran yang diberikan oleh suatu lembaga
penyelenggara pendidikan yang berisi rancangan pelajaran yang akan diberikan
kepada peserta pelajar/sisa dalam satu periode jenjang pendidikan.
Sementara itu, yang pesimistis
dengan kurikulum mutahir mengolok-olok KTSP sebagai (K)urikulum (T)idak (S)iap
(P)akai karena lahir terlalu premature (sebelum waktunya). Sumber kelemahannya
bukan berada di mana-mana, melainkan ada pada guru sendiri. Seberapa banyak
guru yang kreatif dan siap dalam spirit perubahan zaman yang disyaratkan KTSP?
Bukankah pendidikan keguruan di negeri ini memang tidak membekali guru sebagai
penyusun kurikulum? Selain persoalan guru, prasyarat lain seperti gedung dan
komitmen pemerintah juga akan menjadi kendala yang serius. Kita khawatir
kurikulum baru ini pun akan sama nasibnya dengan kurikulum-kurikulum lainnya.
Tak dapat dipungkiri, pendidikan
yang baik adalah investasi yang tak ternilai untuk kemajuan bangsa. Maka, untuk
menstandarkan materi-materi pendidikan yang diberikan dalam sekolah, disusunlah
kurikulum oleh pemerintah sebagai pedoman sistematis yang wajib dilaksanakan
bagi institusi-institusi pendidikan di Indonesia dalam materi pelajaran. Dengan
begitu banyak poin penting yang diatur dalam kurikulum, penyusunan kurikulum
yang tepat sangatlah krusial untuk meningkatkan kualitas pendidikan di
Indonesia.
Namun, di saat zaman reformasi ini,
kurikulum yang dikeluarkan pemerintah senantiasa berubah secepat seseorang
bosan dengan mainannya. Bahkan, dapat terlihat bahwa setiap kali berganti
menteri pendidikan maka hampir dapat dipastikan kurikulum juga akan diubah.
Kalau penulis istilahkan “ganti menteri ganti kurikulum”. Mungkin hanya ada
perubahan sedikit didalamnya, namun dengan adanya menteri baru inginnya
melakukan perubahan, sayang sekali yang dirubah hanya nama, tidak lebih
dari sekedar formalitas. Apakah sering berganti-ganti kurikulum itu baik?
Tergantung. Sebetulnya apabila kurikulum baru memang lebih efektif dan cocok
dengan realita di lapangan, maka itu baik. Tapi, apa bila kurikulum itu tidak
efektif dan sulit direalisasikan dengan sempurna, maka yang terjadi adalah
kebingungan dan miskonsepsi (kesalahpahaman). Bila hal itu terjadi, maka yang
paling menjadi korban adalah siswa, korban dari proyek Mendiknas dan menteri
baru yang ingin “tampil beda”.
Hal ini sangat ironi dalam dunia
pendidikan Indonesia, jika hal ini diteruskan lambat laun banyak penyelenggara
pendidikan non-pemerintah yang bersaing dengan sekolah naungan pemerintah atau
negeri. Kadang kala kita jumpai bahwa kurikulum yang diberikan sekolah swasta
cenderung lebih baik ketimbang kurikulum dari pemerintah. Keplin-planan
pemerintah mengonta ganti kurikulum pendidikan sebenarnya tidak masalah, yang
dipermasalahkan hanya kualitas kurikulum tersebut apakah mampu meningkatkan
kualitas pembelajaran ataukah hanya akan membuat kebingungan para siswa karena
selalu berubah-ubah tiap tahunnya. Pemakalah berharap semoga pemerintah lebih
jeli lagi dalam mengganti kurikulum yang sesuai kondisi riil masyarakat, jadi
tidak ada anggapan lagi “ganti menteri ganti kurikulum”.
- C. Analisis Perubahan Kurikulum
Dari 1947 – 2006
Seperti yang telah paparkan
sebelumnya bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai
tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan
tertentu. Banyak pertanyaan yang terlontar dari berbagai kalangan “Mengapa
kurikulum di negara kita sering berubah? ”. Dan banyak juga pernyataan yang
merupakan jawaban sinis dari pertanyaan di atas, ”Biasa, ganti Menteri
Pendidikan, ya ganti kurikulumnya”. Benarkah demikian ?
Penulis menganalisa secara global
tentang perjalanan sejarah kurikulum pendidikan di Indonesia. Dalam perjalanan
sejarah sejak Indonesia merdeka, kurikulum pendidikan nasional telah mengalami
perubahan berturut-turut, yaitu pada tahun 1947, tahun1952, tahun1964,
tahun1968, tahun1975, tahun1984, tahun1994, dan tahun2004, serta yang terbaru
adalah kurikulum tahun 2006. Dinamika tersebut merupakan konsekuensi logis dari
terjadinya perubahan sistem politik, sosial budaya, ekonomi, dan IPTEK dalam masyarakat
berbangsa dan bernegara. Sebab, kurikulum sebagai seperangkat rencana
pendidikan perlu dikembangkan secara dinamis sesuai dengan tuntutan dan
perubahan yang terjadi di masyarakat. Namun yang jelas, perkembangan semua
kurikulum nasional dirancang berdasarkan landasan yang sama, yaitu Pancasila
dan UUD 1945. Sedangkan perbedaannya terletak pada penekanan pokok dari
tujuan pendidikan serta pendekatan dalam mengimplementasikannya.
Dimulai pada tahun 1947, saat itu
kurikulum pendidikan di Indonesia masih dipengaruhi sistem pendidikan kolonial
Belanda dan Jepang, sehingga hanya meneruskan yang pernah digunakan sebelumnya.
Rentjana Peladjaran 1947 (sebutan kurikulum saat itu) merupakan pengganti
sistem pendidikan kolonial Belanda. Karena suasana kehidupan berbangsa
saat itu masih dalam semangat juang merebut kemerdekaan maka pendidikan sebagai
development conformism (pelaku pembaharuan) lebih menekankan pada
pembentukan karakter manusia Indonesia yang merdeka dan berdaulat dan sejajar
dengan bangsa lain di muka bumi ini.
Pada tahun 1952, kurikulum di
Indonesia mengalami penyempurnaan, dengan menggunakan sebutan Rentjana
Peladjaran Terurai 1952.
Kurikulum ini sudah mengarah pada suatu sistem pendidikan nasional. Ciri yang
paling menonjol dalam kurikulum 1952 adalah setiap rencana pelajaran harus
memperhatikan isi pelajaran yang dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari.
Menjelang tahun 1964, dilakukan
kembali penyempurnaan sistem kurikulum di Indonesia, yang hasilnya dinamakan
Rentjana Pendidikan 1964.
Yang menjadi ciri dari kurikulum ini adalah penekanan pada pengetahuan akademik
untuk pembekalan pada jenjang SD, sehingga pembelajaran dipusatkan pada program
Pancawardhana, yaitu pengembangan moral, kecerdasan, emosional / artistik,
keprigelan, dan jasmani.
Dari Kurikulum 1964 diperbaharui
menjadi kurikulum 1968, dalam hal ini terjadi perubahan struktur
kurikulum pendidikan dari Pancawardhana menjadi pembinaan jiwa Pancasila,
pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus.
Kurikulum 1968 merupakan perwujudan dari perubahan orientasi pada pelaksanaan
UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Penekanan dalam Kurikulum 1968, pada upaya
untuk membentuk manusia Pancasila sejati, kuat, dan sehat jasmani, mempertinggi
kecerdasan dan keterampilan jasmani, moral, budi pekerti, dan keyakinan
beragama. Isi pendidikan diarahkan pada kegiatan mempertinggi kecerdasan dan
keterampilan, serta mengembangkan fisik.
Sebagai pengganti kurikulum 1968
adalah kurikulum 1975. Dalam kurikulum ini menggunakan pendekatan
Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI), mengarah kepada tercapainya
tujuan spesifik, yang dapat diukur dan dirumuskan dalam bentuk tingkah laku
siswa. Dalam pelaksanaannya banyak menganut psikologi tingkah laku dengan
menekankan kepada stimulus respon (rangsang-jawab) dan latihan (drill).
Menjelang tahun 1983, kurikulum 1975
dianggap sudah tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan masyarakat dan tuntutan
perkembangan IPTEK. Sehingga dipertimbangkan untuk segera ada perubahan. Karena
itulah pada tahun 1984 pemerintah menetapkan pergantian kurikulum 1975 dengan
kurikulum 1984.
Kurikulum 1984 berorientasi kepada
tujuan instruksional, didasari oleh pandangan bahwa pemberian pengalaman
belajar kepada siswa dalam waktu belajar yang sangat terbatas di sekolah harus
benar-benar fungsional dan efektif. Oleh karena itu, sebelum memilih atau
menentukan bahan ajar, yang pertama harus dirumuskan adalah tujuan apa yang
harus dicapai siswa.
Pendekatan pengajarannya berpusat pada anak didik melalui Cara Belajar Siswa
Aktif (CBSA). CBSA adalah pendekatan pengajaran yang memberikan kesempatan
kepada siswa untuk aktif terlibat secara fisik, mental, intelektual, dan
emosional dengan harapan siswa memperoleh pengalaman belajar secara maksimal,
baik dalam ranah kognitif, afektif, maupun psikomotor
Materi pelajaran dikemas dengan menggunakan pendekatan spiral yakni pendekatan
yang digunakan dalam pengemasan bahan ajar berdasarkan kedalaman dan keluasan
materi pelajaran. Semakin tinggi kelas dan jenjang sekolah, semakin dalam dan
luas materi pelajaran yang diberikan.
Pada tahun 1993, disinyalir bahwa
pada kurikulum 1984, proses pembelajaran menekankan pada pola pengajaran yang
berorientasi pada teori belajar mengajar yang kurang memperhatikan muatan
pelajaran, sehingga lahirlah sebagai penggantinya adalah kurikulum1994.
Ciri-ciri yang menonjol dari
pemberlakuan kurikulum 1994, di antaranya adalah pembagian tahapan pelajaran di
sekolah dengan sistem caturwulan Pembelajaran di sekolah lebih menekankan
materi pelajaran yang cukup padat (berorientasi kepada materi pelajaran/isi).
Dalam pelaksanaan kegiatan, guru harus memilih dan menggunakan strategi yang
melibatkan siswa aktif dalam belajar, baik secara mental, fisik, dan sosial.
Untuk mengaktifkan siswa guru dapat memberikan bentuk soal yang mengarah kepada
jawaban konvergen, divergen dan penyelidikan. Dan dalam pengajaran suatu mata
pelajaran harus menyesuaikan dengan kekhasan konsep/pokok bahasan dan
perkembangan berpikir siswa, sehingga diharapkan akan terdapat keserasian
antara pengajaran yang menekankan pada pemahaman konsep dan pengajaran yang
menekankan keterampilan menyelesaikan soal dan pemecahan masalah.
Selama dilaksanakannya kurikulum
1994 muncul beberapa permasalahan, terutama sebagai akibat dari kecenderungan
kepada pendekatan penguasaan materi (content oriented), di antaranya
adalah beban belajar siswa terlalu berat karena banyaknya mata pelajaran dan
banyaknya materi/substansi setiap mata pelajaran. Hal ini mendorong para
pembuat kebijakan untuk menyempurnakan kurikulum tersebut. Salah satu upaya penyempurnaan
adalah diberlakukannya Suplemen Kurikulum 1994.
Usaha pemerintah maupun pihak swasta
dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan terutama meningkatkan hasil belajar
siswa dalam berbagai mata pelajaran terus menerus dilakukan, seperti penyempurnaan
kurikulum, materi pelajaran, dan proses pembelajaran. Dengan dilaksanakannya UU
No. 22 dan 25 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, sehingga sebagai konsekuensi
logis harus terjadi juga perubahan struktural dalam penyelenggaraan pendidikan,
maka bersamaan dengan hal tersebut terjadilah perubahan lagi pada kurikulum
pendidikan.
Kurikukum yang dikembangkan pada
tahun 2004 diberi nama Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Pendidikan berbasis
kompetensi menitikberatkan pada pengembangan kemampuan untuk melakukan
(kompetensi) tugas-tugas tertentu sesuai dengan standard performan yang telah
ditetapkan. Hal ini mengandung arti bahwa pendidikan mengacu pada upaya
penyiapan individu yang mampu melakukan perangkat kompetensi yang telah
ditentukan. Implikasinya adalah perlu dikembangkan suatu KBK sebagai pedoman
pembelajaran.
Sejalan dengan visi pendidikan yang
mengarahkan pada dua pengembangan yaitu untuk memenuhi kebutuhan masa kini dan
kebutuhan masa datang, maka pendidikan di sekolah dititipi seperangkat misi
dalam bentuk paket-paket kompetensi.
Kompetensi merupakan pengetahuan,
keterampilan, dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir
dan bertindak. Kebiasaan berpikir dan bertindak secara konsisten dan terus
menerus dapat memungkinkan seseorang untuk menjadi kompeten, dalam arti
memiliki pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar untuk melakukan
sesuatu. Dasar pemikiran untuk menggunakan konsep kompetensi dalam kurikulum
adalah sebagai berikut :
- Kompetensi berkenaan dengan kemampuan siswa melakukan
sesuatu dalam berbagai konteks.
- Kompetensi menjelaskan pengalaman belajar yang dilalui
siswa untuk menjadi kompeten.
- Kompeten merupakan hasil belajar yang menjelaskan
hal-hal yang dilakukan siswa setelah melalui proses pembelajaran.
- Kehandalan kemampuan siswa melakukan sesuatu harus
didefinisikan secara jelas dan luas dalam suatu standar yang dapat dicapai
melalui kinerja yang dapat diukur.
KBK berorientasi pada:
- Hasil dan dampak yang diharapkan muncul pada diri
peserta didik melalui serangkaian pengalaman belajar yang bermakna.
- Keberagaman yang dapat dimanifestasikan sesuai dengan
kebutuhannya.
KBK memiliki ciri-ciri sebagai
berikut:
- Menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik
secara individual maupun klasikal.
- Berorientasi pada hasil belajar (learning outcomes)
dan keberagaman.
- Penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan
dan metode yang bervariasi.
- Sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber
belajar lainnya yang memenuhi unsur edukatif.
- Penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar
dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi.
- Struktur kompetensi dalam KBK dalam suatu mata
pelajaran memuat rincian kompetensi dasar mata pelajaran itu dan sikap
yang diharapkan dimiliki siswa.
- Struktur kompetensi dasar KBK ini dirinci dalam
komponen aspek, kelas dan semester. Keterampilan dan pengetahuan dalam
setiap mata pelajaran, disusun dan dibagi menurut aspek dari mata
pelajaran tersebut.
- Pernyataan hasil belajar ditetapkan untuk setiap aspek
rumpun pelajaran pada setiap level.
- Perumusan hasil belajar adalah untuk menjawab
pertanyaan, Apa yang harus siswa ketahui dan mampu lakukan sebagai hasil
belajar mereka pada level ini?.
- Hasil belajar mencerminkan keluasan, kedalaman, dan
kompleksitas kurikulum dinyatakan dengan kata kerja yang dapat diukur
dengan berbagai teknik penilaian.
- Setiap hasil belajar memiliki seperangkat indikator.
- Perumusan indikator adalah untuk menjawab pertanyaan,
Bagaimana kita mengetahui bahwa siswa telah mencapai hasil belajar yang
diharapkan?.
- Guru akan menggunakan indikator sebagai dasar untuk
menilai apakah siswa telah mencapai hasil belajar seperti yang diharapkan.
Indikator bukan berarti dirumuskan dengan rentang yang sempit, yaitu tidak
dimaksudkan untuk membatasi berbagai aktivitas pembelajaran siswa, juga
tidak dimaksudkan untuk menentukan bagaimana guru melakukan penilaian.
Misalkan, jika indikator menyatakan bahwa siswa mampu menjelaskan konsep
atau gagasan tertentu, maka ini dapat ditunjukkan dengan kegiatan menulis,
presentasi, atau melalui kinerja atau melakukan tugas lainnya.
Yang paling mutahir adalah KTSP,
Untuk menghindari dampak negatif yang kemungkinan terjadi seperti diuraikan di
atas, perlu disosialisasikan secara luas dan benar esensi KTSP dan potensi
dampak positif yang akan dihasilkannya di dalam praktik pendidikan di lapangan.
Sikap kritis terhadap ide pembaharuan pendidikan memang perlu dikembangkan,
tetapi harus disertai dengan sikap keterbukaan (open mindedness) dan
keobjektifan di dalam menilai ide pembaruan tersebut. Agar kesetimbangan
penyikapan ini dapat terjadi diperlukan penajaman yang cukup komprehensif,
dengan mengedepankan sisi-sisi positif secara berimbang dengan potensi resiko
yang dapat ditimbulkannya terutama bila ide pembaharuan tersebut tidak dipahami
secara benar.
Ada beberapa hal yang dapat kita
jadikan sebagai bahan pertimbangan untuk mengkritisi kebijakan Pemerintah
tentang KTSP tersebut :
1)
Secara substansial nuansa reformasi kurikulum tidak mampu memaknai otonomi
pendidikan yang sebenarnya. Reformasi setengah hati ini malah membingungkan
pemangku kepentingan pendidikan, jangankan menyusun kurikulum, menjalankan
kurikulum yang sudah adapun sulitnya setengah mati. Oleh karena itu, tepatlah
orang melabeli KTSP sebagai kurikulum tidak siap pakai.
2) Buaian
sentralistik pendidikan yang selama ini terjadi telah menjadi virus yang
mengerdilkan ide dan kreativitas satuan pendidikan dalam memberdayakan potensi
dirinya. Penyakit ini telah coba diatasi dengan berbagai upaya oleh pemerintah.
Misalnya, saat pemerintah pusat tercengang dengan minimnya pergulatan
kreativitas sekolah, dikumandangkanlah paradigma otonomi pendidikan melalui
manajemen berbasis sekolah. Kenyataannya, institusi prasyarat manajemen
berbasis sekolah seperti dewan pendidikan dan komite sekolah hanya hiasan
struktur organisasi. Bukan sebagai alat vital organisasi. Mereka tak berdaya
karena ketidaktahuan dan kebiasaan ketergantungan. Maklumlah, di Indonesia
sistem manajemen pendidikan tak sefundamental kurikulum dan ujian. Lain halnya
kebijakan try and error yang menyangkut kurikulum.
3)
Sudah rahasia umum, pendidikan keguruan di negeri ini tidak pernah menyiapkan
guru dan sekolah menjadi pengembang kurikulum. Sementara dalam KTSP guru harus
mampu menafsirkan standar kompetensi dan kompetensi dasar menjadi indikator dan
materi pembelajaran, sekaligus menentukan sendiri metodologi didaktisnya agar
tercipta harmoni pembelajaran yang efektif dan efisien. Paradoks KTSP dan
kesiapan guru bisa menjadi musibah nasional pendidikan. Musibah intelektual ini
sulit di-recovery dan butuh waktu relatif lama, apalagi jika dikaitkan dengan
konteks global jelas terjadi ironi. Globalisasi memaksa terjadinya variasi dan
dinamika sumber pengetahuan. Dulu guru sebagai satu-satunya sumber pengetahuan.
Sejalan dengan globalisasi, guru bukan satu-satunya lagi sumber pengetahuan.
Siswa memiliki peluang mengakses informasi dari berbagai sumber, dikenallah
istilah on-line learning.
4)
KTSP menghadapi tantangan besar terkait keterpaduan informasi lokal, nasional,
dan internasional. Kemampuan memadukan ini hanya bisa dilakukan oleh sumber
daya yang memang disiapkan jauh-jauh hari, bukan oleh guru yang disiapkan
secara instan melalui berbagai program pendampingan pengembangan kurikulum.
Lebih berbahaya lagi jika sekolah akhirnya menjiplak panduan yang ditawarkan
Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Tujuan mulia KTSP pada akhirnya hanya
akan melahirkan sekolah-sekolah ’kurung batok’, instan, dan kerdil kreativitas.
Sekedar untuk digaris bawahi bahwa
secara substansial, pemberlakuan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
lebih kepada mengimplementasikan regulasi yang ada, yaitu PP No. 19/2005. Akan
tetapi, esensi isi dan arah pengembangan pembelajaran tetap masih bercirikan
tercapainya paket-paket kompetensi, yaitu :
- Menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik
secara individual maupun klasikal.
- Berorientasi pada hasil belajar (learning outcomes) dan
keberagaman.
- Penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan
dan metode yang bervariasi.
- Sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber
belajar lainnya yang memenuhi unsur edukatif.
- Penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar
dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi.
Terdapat perbedaan mendasar
dibandingkan dengan kurikulum berbasis kompetensi sebelumnya, bahwa sekolah
diberi kewenangan penuh menyusun rencana pendidikan sesuai karakteristik Satuan
Pendidikan dan keberadaannya, dengan mengacu pada standar-standar yang telah
ditetapkan, mulai dari tujuan, visi-misi, struktur dan muatan kurikulum, beban
belajar, kalender pendidikan, hingga pengembangan silabus dan Rancangan
Pelaksanaan Pembelajarannya.
BAB
III
PENUTUP
- A. Kesimpulan dan Saran
Dari kajian di atas dapat ditarik
satu benang merah bahwa kebijakan perubahan kurikulum merupakan upaya
pemerintah untuk memperbaiki kualitas pendidikan Indonesia agar mempunyai daya
saing dengan negara maju di era global, tentunya menuju perubahan yang lebih
baik, inovatif. Bukan hanya sekedar formalitas sehingga orientasinya tidak pada
“ganti menteri ganti pula kurikulum. Salah satunya menerapkan Standar Nasional
Pendidikan dan Badan Nasional Standar Pendidikan sebagai acuan dasar
pelaksanaan Pendidikan di Indonesia. Walaupun dalam perjalananya, Kebijakan
perubahan kurikulum (sebut saja yang paling mutahir KTSP) mulai terlihat
beberapa kelemahan, baik secara konseptual, muatan kurikulum maupun sistem
pembelajaran. Alih-alih mereformasi, sekadar kurikulum operasional yang disusun
oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan di mana pedoman dan
alat ukur keberhasilannya masih tetap sentralistik.
Berarti secara substansial nuansa
reformasi kurikulum harus mampu memaknai otonomi pendidikan yang sebenarnya.
Reformasi pendidikan setengah hati akan membingungkan para pelaku pendidikan
yang sebenarnya. Persoalan yang sering kita temui di lapangan jangankan
menyusun kurikulum, menjalankan kurikulum yang sudah ada sulitnya bukan main.
Oleh karena itu, diperlukan upaya-upaya kongkrit untuk mengiringi suksesnya
penyempurnaan kurikulum ini.
Langkah perbaikan itu ibarat
pepetah tiada rotan akarpun berguna, maka pemerintah sebaiknya melakukan
berbagai langkah perbaikan konsep dengan melibatkan pelbagai unsur/Stakholders
pendidikan dan melakukan studi/penelitian lebih mendalam sebelum kebijakan tersebut
bergulir.